Sarasehan dan Seminar Nasional FIP UNNES
2016 mengusung tema “Menegaskan Jati diri Guru Indonesia”. Tema tersebut
penting untuk diusung karena guru sebagai ujung tombak selama ini belum
menunjukkan kinerja yang optimal. Terlebih, meskipun sudah memperoleh tambahan
ijazah melalui studi lanjut yang diikuti serta sertifikat pendidik, dan
memperoleh tunjangan sertifikaasi guru, namun tidak berdampak signifikan
terhadap kinerjanya. Di sisi lain guru dengan pandangan bahwa dirinya adalah
pekerja, melakukan pekerjaan sesuai dengan bayaran yang diterima. Sebelum
memasuki acara inti, Dr. Edy Purwanto, M.Si selaku Ketua Panitia memberikan
sambutan. Beliau menggaris bawahi kompetensi kepribadian pendidik adalah aspek
penting selain kompetensi profesional. Selanjutnya, mewakili Rektor Universitas
Negeri Semarang, Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons. menyambut dan
membuka acara sarasehan dan seminar nasional. Dalam sambutannya, beliau
mengingatkan pentingya peran guru dalam membentuk adab siswa. Dalam perspektif
sejarah, sulit untuk tidak mengakui peran guru dalam mengantarkan peradaban
umat manusia dari peradaban pra-modern menuju peradaban modern seperti sekarang
ini.
Dr. E. Nurzaman A.M., M.Si., M.M.
pembicara dari Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Beliau menuturkan empat isu utama tentang
guru yaitu; kualitas dan kuantitas, kualifikasi dan kompetensi, distribusi, dan
kesejahteraan. Terkait dengan tema seminar dan sarasehan, menurut beliau,
kompetensi kepribadian guru di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Guru ideal
adalah yang memiliki karakter pembelajar. Guru pembelajar mengembangkan dirinya
dimanapun dan kapanpun. Pengembangan yang dilakukan bukan karena sertifikasi, karir,
atau kepala sekolah, namun karena telah menjadi bagian inheren konsep-dirinya.
Namun pada kenyataannya, tidak semua guru memiliki karakter pembelajar.
Hasilujian kompetensi guru (UKG) Nasional 2015 menunjukkan itu. “sebanyak 305
(59%) Kabupaten/kota luar Jawa di bawah standar kompetensi minimal (SKM)”
Tandas Nurzaman.Maka, untuk meningkatkan kompetensi guru, program pengembangan
keprofesian berkelanjutan (PKB) diselenggarakan melalui pemberdayaan kelompok
kerja guru (KKG), musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), dan program
peningkatan kompetensi guru pembelajar. Nurzaman menegaskan kompetensi
kepribadian sangat menunjang profesionalitas guru sehingga kedepannya hanya ada
dua pilihan “menjadi guru profesional atau tidak sama sekali”.
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menjadi pembicara berikutnya dalam seminar yang digelar di hotel Pendanaran semarang. Tema yang dibawakan adalah “Penguatan Jati Diri Guru Penyiapan Generasi Unggul”. Beliau memperkuat uraian pembicara pertama mengenai pentingnya mutu guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional. “Guru yang ideal adalah mereka yang ber-jatidiri danber-misi, tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban profesinya” Tegas Sunaryo. “Guru, selain melakukan transfer of knowledge juga memiliki misi merubah perubahan perilaku peserta didik secara sistematis dan profesional” tambahnya. Misi tersebut menjadi sedemikian fundamental karena hari ini -dan kedepannya, para guru akan mendidik siswa-siswa yang dikarakteristiki oleh generasi Z (gen Z), yaitu generasi yang telah akrab dengan gadget sejak kecil sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kepribadiannya. Gen Z, melalui gadgetnya, dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi dari penjuru dunia. Keberlimpahan informasi di dunia maya serta keakraban siswa dengan gadget, perlu direspon guru dengan merubah kecakapan-kecakapan yang harus dimiliki siswa. Salah satunya adaah kecakapan ways of thinking. Kecakapan tersebut lebih menekankan siswa untuk berfikir kritis dan kreatif supaya tepat dalam menggunakan berbagai informasi yang tersedia.Pada titik tersebut, fungsi guru sangat dibutuhkan. Hal itu juga bentuk respon Sunarya terhadap pendapat bahwa konten internet akan melemahkan peran guru dalam proses pembelajaran siswa. Untuk merespon tantangan dunia pendidikan abad XXI, menurut Sunarya, “dibutuhkan guru-guru yang betah tinggal di sekolah untuk memfasilitasi pembelajaran siswa”. Sesuatu tantangan tersendiri bagi guru-guru yang selama ini bekerja sebatas menggugurkan kewajiban profesinya. Menutup penjelasannya, Sunaryo mendukung statemen Nurzaman “be a good teacher or leave it all”.
Speaker
terakhir Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd dari jurusan Bimbingan dan Konseling FIP UNNES
membawakan materi “Nilai-nilai spiritual dalam pelaksanaan tugas guru”. Materi
yang dibawakan lebih sublime
karena menyangkut dimensi esoteris guru sebagai makhluk yang berTuhan. Anwar
menegaskan tugas-tugas guru tidak hanya berdimensi profesional namun juga
spiritual. “Ada muatan-muatan ibadah dalam setiap tugas guru” jelasnya.Menurut
Anwar, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Lebih jauh,
bilamana seorang guru membagikan ilmu yang bermanfaat pada murid-muridnya, dan
pada gilirannya, murid-murid tersebut membagikan apa yang mereka peroleh dari
gurunya pada orang lain -dan seterusnya, maka rantai manfaat dari ilmu tersebut
akan semakin meluas serta berlipat ganda. Pada spektrum di atas, kegiatan
mendidik dapat dimaknai sebagai ibadah. Tidak hanya itu, Anwar mengarisbawahi,
agar pekerjaan sebagai guru bernilai ibadah seyogyanya selalu didasarkan pada
niat mencari ridho-NYA, bertindak dan berkata yang baik, tidak pamer, tidak
mengungkit-ungkit, serta tidak menyakiti. Selama niat utama masih disandarkan
pada niat pengguguran tugas profesional, pemenuhan syarat setifikasi dan
semacamnya, maka pekerjaan tidak bermakna spiritual namun material. (AHFA)