Oleh: Yatun R. Awaliah
Dosen UPI Bandung, tulisan dimuat di Tabloid
Pendidikan Ganesha
Sepintas dilihat dari namanya semua orang pasti akan mengira bahwa dia adalah
peranakan jawa. Padahal kalau ditelusuri lebih jelas ia merupakan orang sunda
asli. Dialah Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., Rektor Universitas
Pendidikan Indonesia yang juga menjabat Ketua Umum ISPI 2009-2014 dan 2014-2019.
Awalnya
tidak ada yang mengira bahawa lelaki kelahiran Desa Cigintung, Kecamatan Kawali
Ciamis 21 Maret 57 tahun silam ini begitu nyunda, hal itupun terbukti pada saat
acara launching Majalah Cahara Bumi Siliwangi dan Ronggeng Gunung di UPI dengan
fasih Sunaryo memberikan sambutan dalam bahasa sunda yang begitu ngentep
seureuh. Bahkan para inohong Sunda yang hadir saat itu, begitu terkejut dengan
ucapan dan sikap sunaryo yang kental dengan adat kesundaan.
“Saya
tidak menyangka ia begitu kental adat kesundaanya, dalam berbicara memang ia
pun begitu ngentep seureuh dan dalam menggunakan undak-usuk basa pun sangat
fasih,” ujar Karna Yudibrata, salah seorang inong Sunda yang hadir saat itu.
“Belajar
bahasa sunda memang dari kecil, semenjak SD sampai sekolah SPG di Ciamis,”
jawab putra sulung dari empat bersaudara pasangan H. Sukarta dan Hj Surliah
ini, saat ditanya akan hal tersebut.
Kehidupan
Sunaryo tidak langsung sukses begitu saja, dengan memegang jabatan penting
seperti saat ini. Tetapi ia memulai semuanya dari nol.
Sunaryo
mengawali pendidikan formalnya pada tahun 1957 di SDN 2 Talagasari. Hidup
sebagai anak petani dilewatinya dikampung halaman tercinta. Masih terbayang
dalam benaknya bagai mana waktu itu, meskipun masih kecil ia harus ikut
membantu orangtuanya membajak sawah dan mengembala kambing yang merupakan mata
pencarian utama keluarga.
Saat
menempuh jalur pendidikan di SMP 1 kawali tahun 1963, Sunaryo memiliki tradisi
yang sangat unik. Bila berangkat ke sekolah ia tidak pernah menggunakan alas
kaki alias nyeker, dan barulah setelah sampai kesekolah ia pergunakan
sepatunya.
“Jarak dari rumah ke sekolah kan lima kilometer dilalui dengan berjalan kaki, jadi supaya sepatunya awet, ya biasanya jarang dibawa pulang. Suka disimpan saja, di titipkan di Ibu pemilik warung sekolah, dan digunakan hanya saat sekolah saja. Selain itu juga biasanya kalau mau pergi ke sekolah saya selalu mebekal karung di tas. Kan biasanya sambil pulang sekoal itu sambil ngala rumput untuk kambing. ” kenangnya.
Meskipun
tergolong dari keluarga yang pas-pasan, tapi hal itu tidak menyurutkan
semangatnya untuk terus bersekolah. Malah hal tersebut dijadikan Sunaryo
sebagai motivasi agar kelak menjadi orang sukses dan dicontoh oleh
adik-adiknya. Hal itu ia buktikan setelah lulus dari SPG Ciamis tahun 1970
dengan melanjutkan ke jurusan Bimbingan Penyuluhan IKIP Bandung.
Kesempatan
untuk meraih cita-cita sebagai seorang guru mulai terbuka tatkala lulus pogram
diploma ia dipercaya untuk menjadi asisten dosen di almamaternya sendiri
sembari melanjutkan kuliah diprogram sarjana.
Semasa
kuliah, Sunaryo dimata teman-temanya sebagai sosok yang begitu pintar dan
berprestasi. Hal itulah yang menjadikan modal utamanya untuk mempersunting
teman sekelasnya sendiri, yang bernama Dra. Euis Misyeti, M.Pd.
“Kami
teman sekelas, ya biasanyakan dia (Euis–red) suka kesiangan kalau kuliah. Nah
biasanya, saya itu selalu menyiapkan kursi kosong disamping saya khusus buat
dia, ya karena sering begitu Dosen pun akhirnya pada tahu ‘itu kursi buat Euis
ya’. Dan teman-teman sekelas suka mneggosipkan kami. Dia awalnya agak marah
dengan keadaan itu. Tapi ya lama kelamaan takluk juga,” jelasnya sambil
tertawa terkenang masa lalu, tatkala menceritakan pengalaman masa mudanya
bersama sang istri.
Karir
akademik Sunaryo berawal pada tahun 1978 saat dipercaya menjadi Sekretaris
Jurusan BP FIP IKIP dan kemudian menjadi ketua Jurusan BP FIP IKIP. Hal itu ia
lakukan sambil melanjutkan kuliah diprogram pascasarjana. Namun, beberapa tahun
kemudian ia berhenti karena harus konsentrasi melanjutkan kuliah di Program S3
Bimbingan konseling yang saat itu lulus masuk tanpa tes.
Saat
menempuh pendidikan S3 merupakan momen yang paling berharga bagi Sunaryo karena
dengan program sandwich mengharuskannya menempuh beberapa SKS di State
University of New York. Saat itulah untuk pertamakalinya Sunaryo bisa
mengunjungi Amerika yang sejak dulu diimpikannya.
Selama
enam bulan ia berada di Amerika untuk menimba ilmu dan harus rela meninggalkan
istri tercinta yang saat itu sedang mengandung anak ke-3.
“Saat
anak ketiga lahir, saya tidak berada disamping istri, menyaksikan kelahirannya
karena berada di Amerika,” ungkap ayah dari tiga orang anak yang juga merupakan
kakek dari empat cucu ini.
Sepulang
dari Amerika, karir Sunaryo semakin bertambah dengan dipercaya sebagai Pembantu
Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan dan beberapa bulan kemudian, tepatnya pada
tanggal 13 September 1988 ia lulus program doktoral dengan nilai cum laude.
Saat
mengemban amanah sebagai Pembantu Rektor II, pada bulan Agustus 1996 Sunaryo
dikukuhkan sebagai Guru Besar Psikologi dan Bimbingan Konseling dengan judul
orasi ”Pendekatan psikologi dalam bimbingan konseling”.
Tahun
2005 merupakan puncak karir bagi Sunaryo dengan mendapatkan amanah menjadi
“nakhoda” Universitas Pendidikan Indonesia masa bakti 2005-2010. Ia merupakan
Rektor UPI BHMN pertama yang dipilih oleh stike holder-nya.
Perjalanan
dari Kawali ke Bumi Siliwangi, begitu benar-benar dinikmati oleh Sunaryo.
Baginy komitmen yang paling penting dalam hidupnya bahwa ia harus terus
berusaha dan memberikan yang terbaik.
“kiat
suksesnya sih, ya terus berusaha, berdo’a dan bersyukur. Kemudian jangan lupa
motivasi yang paling utama dan kuat adalah dari istri. Mungkin saya tidak akan
menjadi seperti sekarang ini kalau tidak didukung oleh motivasi dan dorongan
istri saya” pungkasnya.