Peran pendidikan dalam mempersiapkan
generasi 2045 sangat penting. Itulah sebabnya, Lembaga Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan (LPTK) perlu menyiapkan pendidikan tenaga pendidik
untuk menyiapkan generasi 2045 itu, dan manajemen ketenagaan pendidik
yang profesional. Dalam konteks penyiapan generasi 2045, peran pendidik
sangatlah penting dan masa depan bangsa ada di pundak pendidik atau
guru.
“Sistem pendidikan masa depan bangsa
Indonesia adalah pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini menjadi
generasi emas Indonesia 2045. Generasi ini akan menjadi generasi
penduduk warga dunia yang bersifat transkultural, namun harus tetap
hidup dan berkembang dalam jati diri dan budaya Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang bermartabat,” kata Ketua Asosiasi Lembaga Pendidikan dan
Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata,
M.Pd. saat menyampaikan makalah utama dalam Konperensi Nasional
Pendidikan Indonesia (Konaspi)VII yang diselenggarakan Universitas
Negeri Yogyakarta, di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Kamis (1/11/2012).
Menurut Rektor Universitas Pendidikan
Indonesia ini, daya saing di satu sisi dan kemampuan kolaborasi di sisi
lain adalah dua polar kompetensi yang harus bersinergi sebagai profil
dasar manusia Indonesia 2045. Gambaran sosok manusia Indonesia generasi
2045 harus menjadi pijakan dan cantolan upaya pendidikan, dan pendidikan
akan memainkan peran baru dalam perspektif pengembangan sosok generasi
2045.
“Peran baru pendidikan harus diikuti
dengan profesionalisme guru, yang kunci utamanya terletak pada guru dan
pendidikan guru yang bermutu. Guru bermutu menjadi variabel penting bagi
terwujudnya pendidikan yang bermutu. Perlu revitalisasi LPTK sebagai
perguruan tinggi yang bertanggung jawab dalam mendidik calon
pendidik/guru dengan landasan filosofi, kerangka pikir akademik, program
pendidikan akademik dan profesi yang utuh dan akuntabel,” ujar Prof.
Sunaryo.
Keutuhan pendidikan guru, kata dia,
harus dibangun mulai dari rekrutmen calon mahasiswa sampai kepada
memasuki pensiun dalam konsep life cycle guru. Pengembangan
profesionalisme guru di lapangan harus dipandang sebagai sebuah
perkembangan yang bersifat lifelong learning capacity yang didukung oleh
sistem pengelolaan ketengaan guru yang berorientasi profesi dan tidak
berorientasi birokrasi.
Kebermutuan guru di lapangan, kata dia
selanjutnya, bergantung kepada antara lain sistem pengelolaan ketenagaan
guru/pendidik sebagai profesional dan bukan sebagai unsur birokrasi.
Untuk mengawal mutu guru, pendidikan guru dan kelembagaannya, maka
diusulkan dibentuknya sebuah council nasional yang disebut dengan
Majelis Keguruan Indonesia (MKI, yang sekaligus juga menguatkan
rekoemndasi Simposium Nasional Refleksi 58 Tahun Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi Keguruan di Indonesia, yang diselengarakan di Bandung,
yang merekomendasikan pembentukan Majelis Keguruan Indonesia (MKI) ini
sebagai wadah independen dan dideklarasikan pada Konaspi VII di
Yogyakarta.
Dalam makalah yang diberi judul, “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045:
Sistem Pendidikan yang Memungkinkan
Dihasilkannya Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang Kompeten untuk
Mempersiapkan Generasi 2045”, Prof. Sunaryo mengemukakan, investasi
pendidikan adalah prediktor masa depan bangsa yang tercermin dalam mutu
sumber daya manusia yang dihasilkan melalui upaya pendidikan itu. Modal
dasar yang amat dahsyat di Indonesia adalah potensi jumlah penduduk
produktif. Dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang diperkirakan lebih
dari 60% penduduk Indonesia berada pada usia produktif (15-64 tahun).
Potensi ini harus dikelola dengan tepat dan pendidikan adalah wahana
paling strategis untuk mengelola potensi penduduk produktif dimaksud.
“Mereka yang akan menduduki posisi usia produktif pada 15-20 tahun yang akan datang adalah mereka yang pada saat ini berusia antara 0-40 tahun. Dari rentang usia itu dua kutub kritis yang harus menjadi perhatian adalah mereka yang berada pada kelompok usia dini (0-5 tahun) dan usia mahasiswa (18-23 tahun) yang saat ini sedang menempuh kuliah. Kelompok usia dini akan menjadi mahasiswa pada 15 tahun mendatang dan kelompok mahasiswa saat ini akan menjadi kelompok yang amat produktif pada tahun 2035,” ujar Prof. Sunaryo.
Dalam konteks pemanfaatan anggaran
pendidikan, kata dia, dua kutub kritis ini perlu mendapat perhatian dan
prioritas, tanpa mengabaikan kelompok usia yang berada di antara kedua
kutub itu. Investasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dimaksudkan
untuk memberikan kepastian bahwa tidak ada anak usia dini yang tidak
memperoleh akses pendidikan. “Anak usia dini tak boleh diabaikan. Sebab
jika terabaikan, maka usia produktif pada 15-20 tahun mendatang yang
akan menjadi penopang kekuatan ekonomi dan daya saing bangsa tidak akan
bisa disiapkan dengan baik, dan perkembangan bangsa bisa terganggu,”
katanya.
Angka partisipasi kasar (APK) PAUD
sebesar 56,7% pada awal tahun 2010 dan target 72,9% pada tahun 2014
memerlukan investasi besar dan gerakan nasional secara menyeluruh, ujar
Rektor UPI. Dengan kecenderungan pencapaian target seperti yang
digambarkan, diharapkan pada tahun 2025 seluruh populasi anak usia dini
memperoleh layanan pendidikan anak usia dini. Invenstasi PAUD harus
mencakup infrastruktur dan ketenagaan, yang pada saat ini masih jauh
dari standar yang diharapkan. Untuk mencapai harapan anak usia dini masa
kini menjadi manusia Indonesia produktif pada 15 tahun yang akan datang
maka PAUD tidak boleh diabaikan dan harus memperoleh prioritas
pembiayaan.
“Untuk mempercepat peningkatan daya
saing bangsa dan pertumbuhan ekonomi, prioritas anggaran pendidikan
harus pula diberikan kepada pendidikan tinggi,” kata Prof. Sunaryo
selanjutnya.
Ada dua hal utama yang perlu mendapat
prioritas penganggaran di perguruan tinggi. Pertama, peningkatan mutu,
aksesibilitas, relevansi, dan kesetaraan gender pada program S1,
termasuk juga politeknik. Kedua, penambahan jumlah doktor. Ini penting
karena lulusan pendidikan tinggi adalah tenaga ahli dan profesional yang
siap memasuki dunia kerja (usaha dan industri) ataupun membuka lapangan
kerja baru. Kelompok ini akan menjadi critical mass dan menjadi
kekuatan untuk akselerasi pertumbuhan dan perubahan ekonomi dan
penguatan daya saing bangsa.
“Kekuatan ini diharapkan akan mampu mengurangi eksploitasi ekonomi perkotaan karena terjadinya penyebaran kemampuan ke seluruh pelosok tanah air yang secara potensial dapat menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru. Untuk itu, peningkatan APK pendidikan tinggi dari 24,67% pada tahun 2010 dan ditargetkan menjadi 30,0% pada tahun 2014, yang telah menjadi program dan target Kemdikbud, perlu didukung anggaran yang memadai dan berkelanjutan,” kata Prof. Sunaryo.
Demikian pula penyediaan anggaran untuk
membiayai mahasiswa yang secara ekonomi tidak beruntung namun memiliki
potensi akademik tinggi, melalui program bidik misi bagi 20.000
mahasiswa per tahun perlu dijamin keberlanjutannya. Persoalan mutu,
aksesibilitas dan keterjangkauan, relevansi, dan kesetaraan gender
adalah variabel yang harus dipenuhi seiring dengan upaya peningkatan APK
pendidikan tinggi.
Generasi manusia Indonesia 2045 adalah
manusia abad 21 yang ditandai dengan ketersediaan teknologi yang telah
mengubah pola hidup dan pola pikir manusia. Teknologi informasi
digunakan manusia dalam berbagai hal, baik dalam komunkasi maupun
bisnis.Pada saat yang sama muncul berbagai persoalan yang bisa
mengganggu kesejahteraan masyarakat, seperti masalah makanan, air
bersih, perubahan iklim global, dan penuruan daya dukung lingkungan.
“Dalam kondisi seperti ini hal yang
cukup krusial adalah merespons kompleksitas masalah, berkomunikasi
efektif, memanage informasi secara dinamis, bekerja dan mencari solusi
dalam nuansa kolaboratif, mengunakan teknologi secara efektif,
melahirkan pengetahuan baru secara berkelanjutan. Semua ini adalah
keterampilan yang dibutuhkan dalam abad dua puluh satu,” kata dia.
(WAS/Deny/Foto: www.uny.ac.id)
Sumber : UNY